Minggu, 27 September 2015

Sasando



            Sasando adalah sebuah alat musik dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Instrumen musik ini berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Suara sasando ada miripnya dengan alat musik dawai lainnya seperti gitar, biola, kecapi, dan harpa. Instrumen ini dalam bahasa Kupang disebut sasando, alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara memetik dengan jari-jemari tangan. Konon sasando telah digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.

            Bahan utama sasando adalah bambu yang membentuk tabung panjang. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi penyangga atau ganjalan-ganjalan (disebut senda dalam bahasa rote) tempat senar-senar atau dawai direntangkan mengelilingi tabung bambu, bertumpu dari atas kebawah. Senda ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Pada mulanya alat penyetem dawai terbuat dari kayu, yang harus diputar kemudian diketok untuk mengatur nada yang pas. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar yang disebut haik. Haik inilah yang berfungsi sebagai resonansi sasando.
            Ada beberapa versi cerita rakyat yang mengisahkan tentang  awal mulanya sasandu / sasando, diantaranya ceritra ini bermula  dari terdamparnya seorang pemuda bernama Sangguana di pulau Ndana. Kemudian oleh penduduk sekitar, ia dibawa ke hadapan raja Takalaa. Inilah awal mula pertemuan Sangguana dengan putri raja. Sangguana pun jatuh cinta pada sang putri, namun raja mempunyai syarat untuk menerima Sangguana.  Sangguana diminta raja untuk membuat alat musik yang lain dari yang lain. Dalam mimpinya Sangguana memainkan alat musik yang indah bentuknya dengan suara yang merdu.  Mimpi itulah yang mengilhami Sangguana untuk membuat alat musik seperti yang diinginkan sang raja. Alat musik itu diberi nama sasandu. Kemudian sasandu tersebut diberikan kepada putri raja dan putri raja memberi nama Hitu (tujuh) makna dari pemberian nama tersebut karna 7 (tujuh) dawai sasando bergetar bersamaan saat dipetik. Sangguanapun akhirnya mempersunting putri raja, karena berhasil memenuhi keinginan raja. Oleh karena itu, secara fungsi dan pemakaiannya, sasando biasanya dimainkan untuk mengiringi nyanyian, menirukan nyanyian, mengiringi pembacaan syair daerah Rote juga untuk mengiri tari, menghibur keluarga yang berduka dan yang sedang mengadakan pesta. Tidak ada syarat atau ritual khusus untuk bisa memainkanya. Siapa pun bisa belajar untuk memainkannya.
          Perkembangan sasando terhitung pesat, berawal dari sasando berdawai 7 (pentatonik) dengan sebutan sasando gong, karena biasanya dimainkan dengan irama gong, kemudian sasando gong berkembang menjadi alat musik petik pentatonik dengan 11 (sebelas) dawai. Sasando gong sangat populer di kepulauan Rote.

          Kemudian diperkirakan pada akhir abad ke 18 sasando mengalami perubahan, dari sasando gong ke sasando biola. Sasando biola lebih berkembang di Kupang. Dinamai sasando biola karena nada-nada yang ada pada sasando meniru  nada pada biola. Nadanya diatonis dan bentuknya mirip sasando gong tetapi bentuk bambu dan diameternya lebih besar dari sasando gong dan jumlah dawai pada sasando biola lebih banyak, awalnya 30 nada kemudian berkembang menjadi 32 hingga 36 dawai. Sasando biola ada  2 bentuk yaitu sasando dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari daun lontar/haik dan sasando biola dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari bahan kayu maupun multiplex (kotak/box/peti). Seperti yang sering kita lihat pada uang kertas lima ribuan emisi tahun 1992.
          Di tahun 1958, sasando elektrik mulai dibuat hingga pada tahun 1960 berhasil dirampungkan dan mendapatkan bunyi yang sempurna sama dengan suara aslinya. Bentuk sasando elektrik ini dibuat sebanyak 30 dawai. Pembuat pertamanya adalah Arnoldus Edon, dan sasando listrik buatan perdananya langsung di bawah ke Jakarta oleh Thobi Messakh (tokoh adat dari Rote). Alat yang paling penting pada sasando elektrik, selain badan sasando dan dawai, adalah spul (pickup)  yang merupakan sebuah transducer yang akan mengubah getar dawai menjadi energi listrik, lalu diteruskan melalui kabel dan masuk ke dalam amplifier.

Tari Saman





            Tari Saman merupakan sebuah tarian suku Gayo (Gayo Lues) yang berada di Aceh, Indonesia. Tarian ini biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan tari Saman di Aceh didirikan dan dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara. Tari Saman ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia dalam Sidang ke-6 Komite Antar-Pemerintah untuk Pelindungan Warisan Budaya Tak benda UNESCO di Bali, 24 November 2011.

Tari Saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. Sebelum saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat yang berguna kepada para pemain dan penonton.

Tari saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tari Saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik,kerena hanya menampilkan gerak tepuk tangan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua gerak ini menggunakan bahasa Bahasa Gayo). Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut syekh. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria. Nyanyian para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. 
Cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :
1.    Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.
2.    Dering, yaitu regnum yang segera diikuti oleh semua penari.
3.    Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
4.    Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak.
5.    Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.

Sabtu, 26 September 2015

Candi Borobudur



Candi Borobudur merupakan sebuah candi Buddha yang terletak di Desa Budur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Borobudur berasal dari kata “bara” dan “budur”. Kata “bara” berasal dari kata “wihara” atau “biara” dari bahasa Sanskerta yang berarti kuil atau asrama, sedangkan kata “budur” diperkirakan berasal dari kata “beduhur” artinya di atas. Jadi, Borobudur dapat diartikan sebagai biara yang berada di atas bukit. 

Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. 


Candi yang bercorak Buddha ini, didirikan oleh Dinasti Syailendra pada zaman Mataram Kuno. Bentuk candi yang berupa punden berundak menggambarkan adanya akulturasi budaya India dengan budaya asli Indonesia pada zaman Megalithikum. Berdasarkan ajaran Buddha Mahayana, Candi Borobudur merupakan Dasya-bodhisatwa-bhumi, artinya tempat mencapai ke-Buddha-an melalui sepuluh tingkat bodhisatwa.
Borobudur bersusun tiga tingkat, yaitu Kamadhatu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu  (ranah tak berwujud) dengan relief sepanjang 4 km dan Arca Buddha berjumlah lebih dari 500 buah. Pada seluruh dinding Borobudur, terdapat sebelas seri relief yang memuat kurang-lebih dari 1.460 buah adegan. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Namun, sebagian relief ini masih belum dapat diartikan ceritanya.

Relief yang terpahat di dinding candi Borobudur terbagi menjadi 4 kisah utama yakni Karmawibangga, Lalita Wistara, Jataka dan Awadana, serta Gandawyuda. Selain mengisahkan tentang perjalanan hidup Sang Buddha dan ajaran-ajarannya, relief tersebut juga merekam kemajuan masyarakat Jawa pada masa itu. Bukti bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia adalah pelaut yang ulung dan tangguh dapat dilihat pada 10 relief kapal yang ada. Salah satu relief kapal dijadikan model dalam membuat replika kapal yang digunakan untuk mengarungi The Cinnamon Route dari Jawa hingga benua Afrika. Saat ini replika kapal yang disebut sebagai Kapal Borobudur itu disimpan di Museum Samudra Raksa. Di atas puncak Borobudur terdapat sebuah stupa yang paling besar. Stupa utama terbesar terletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamfor Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.

Gajah Sumatera




            Gajah Sumatera yang memiliki nama latin Elephas maximus sumatrensis merupakan mamalia terbesar di Indonesia beratnya mencapai 6 ton dan tumbuh setinggi 3,5 meter pada bahu Herbivora raksasa ini hanya berhabitat di Pulau Sumatera dan memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain yang membuat mereka sangat cerdas. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air dengan cara memegang atau menggenggam bagian ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup.
            Gajah Sumatera merupakan ‘spesies payung’ bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup. Artinya konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya. Dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam.
Gajah Sumatera saat ini merupakan salah satu binatang yang masuk dalam satwa terancam punah. Populasinya terus menurun dari tahun ke tahun. Khusus untuk di wilayah Riau dalam seperempat abad terakhir ini estimasi populasi gajah Sumatera, yang telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun sebesar 84% hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Lebih dari 100 individu Gajah yang sudah mati sejak tahun 2004.


Salah satu penyebab dari terancamnya satwa ini adalah diambilnya gading gajah oleh para pemburunya. Untuk mendapatkan sebuah gading gajah para pemburu harus membunuh gajah tersebut. Salah satu tempat yang menjadi tempat perburuan gading tersebut misalnya di Mandau, Bengkalis. Selain itu, pernah ditemukan 2 ekor gajah jantan yang diambil gadingnya di Jambi pada September 2014.
Ancaman utama bagi gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan perburuan dan perdagangan liar juga konversi hutan alam untuk perkebunan (sawit dan kertas) skala besar. Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan jumlah hutannya. Penyusutan atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan berpenduduk sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman dan harta benda.
Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit sebagai salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera, mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak. Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap ‘hama’ ini.